Langsung ke konten utama

Kenangan masa kecil yang baik (Part 2)


Mendidik seperti ibu mendidik

Aku suka bingung untuk melanjutkan setiap “part” kenangan masa kecilku dari mana. Inginnya sih urut, tapi menulis sesuatu yang sengaja dipikirkan dengan sistematis malah membuatku tidak menghasilkan apa-apa, selain hanya keinginan agar ceritanya urut dan tertata. Makanya, aku memilih untuk menuliskan apapun yang tiba-tiba teringat dikepalaku. Tentang masa kecilku.

Kali ini tentang ibu. Tentang bapak juga banyak kok. Tapi ibuk dulu ya pak. Hehe.

Mendidik seperti ibu mendidik. Banyak hal yang kelak jika aku sudah menjadi ibu, aku ingin mentreatment anakku seperti ibu memperlakukanku.  Sederhana tapi begitu berkesan bagiku hingga saat ini.


Dulu ketika aku masih sekolah dari SD, SMP sampai SMA, setiap kali mau Ujian Tengah Semester, Ujian Akhir Semester dan Ujian Nasional, ibu adalah orang yang juga akan menyiapkan banyak hal, mungkin maksudku banyak keperluan. Ketika jadwal ujian keluar, pulang sekolah aku akan bilang pada ibu “Adek ujian 4 hari buk”, “Adek ujian seminggu buk”, “Adek ujian sampek dua minggu buk, satu satu pelajarannya”. Maka ibu akan memulai kebiasaannya. Sehari sebelum ujian dimulai, biasanya pada hari minggu, ibu akan meminta uang pada bapak untuk membelikan daging sapi untukku, susu coklat, dan beberapa cemilan untuk menemani aku belajar.

Dulu aku tergolong anak yang rajin. Jam 4 aku sudah bangun, selesai sholat subuh aku akan mengambil buku dan membaca kembali materi ujian hari itu. Pun, ibu akan bangun lebih pagi untuk membangunkanku. Dia menyeduh susu coklat untukku, ya karena waktu itu aku tidak suka susu putih, tidak enak. Ibu berjalan dari arah dapur membawa segelas susu coklat, meletakkan di depan mejaku dan bilang “Ni susunya”, aku akan jawab dengan nada manja “Makasih ibuuuuuuuk” lalu melanjutkan belajar menunggu susu menjadi hangat. Beberapa saat kemudian, ibu akan menengok dari pintu dapur “Dek, daging sapinya pengen dimasak apa?” kadang aku jawab rawon, semur kecap, dan aku lupa namanya, tapi semacam dendeng dengan bumbu kuning yang sangat enak. Belum habis susu digelasku, ibu datang lagi membawa cemilan. Cemilan yang di hari sebelumnya juga ibu tanya padaku, adek mau pisang goreng, singkong atau roti bakar? Tentu aku akan jawab semauku.

Tidak, tidak , aku bukan dimanja tapi itu cara ibu memberi semangat padaku. Menghargai usahaku untuk belajar dan itu sungguh sangat berpengaruh bagiku. Ketika anak lain benci ujian, aku sangat senang ujian datang. Ya, karena treatment yang ibu berikan.  Mendekati munculnya matahari aku akan mandi dan bersiap kesekolah, tentu kemudian sarapan dengan menu yang sudah ibu sediakan tadi. Sebelum berangkat sekolah, apalagi waktu SD, ibu akan memastikan semua peralatan tulisku sudah terbawa. Tidak lupa juga pertanyaan “Kartu ujian sudah dibawa?”. Aku akan menganggung kemudian mencium tangannya, lalu ibu akan mencium pipi kanan dan kiriku kemudian bilang “Hati-hati ngerjakannya, yang teliti, nggak usah terburu-buru”. Aku menjawab “Iya” sambil naik ke atas motor, dimana bapak sudah siap mengantarku ke sekolah. Motor mulai menyala bapak akan bilang “Berangkat ya buk” sedangkan aku akan melambaikan tangan, lalu berbarengan dengan bapak mengucap salam “Assalamualaikum”. “Waalaikumsalam” ibu menjawab.

Pulang sekolah setelah mencium tangan ibu, beliau akan bertanya “Gimana ujiannya dek?” maka aku akan mulai bercerita, soal apa yang tidak bisa aku kerjakan dan soal apa bisa aku kerjakan seraya bilang “Tadi yang dipelajari keluar semua”. Kadang aku juga mengeluh karena lupa jawabannya dan baru ingat setelah lembar ujian dikumpulkan. Ibu akan bilang “Nggak papa, besok lebih teliti lagi.  Besok pelajaran apa?”

Selalu begitu, sampai akhirnya aku kuliah dan tidak ada susu coklat maupun cemilan yang disiapkan ibu. Tapi, ibu akan selalu membangunkan aku pagi hari dan menelfon malam hari untuk menanyakan bagaimana ujianku hari ini.

Keluarga kami bukan keluarga kaya, keluarga kami keluarga yang sederhana. Tapi sungguh aku bersyukur terlahir menjadi bagian dari mereka, di keluarga ini, aku menemukan cinta. Cinta yang begitu megah, begitu mewah tapi tidak mahal harganya. Hanya didapat dari hal-hal sederhana yang itu sungguh berharga.

Ohiya, kalau bapak nanti aku ceritakan di part lain aja. Intinya dibagian ini, aku tau bapak akan mendengarkan ceritaku dari apa yang ibu ceritakan kepadanya.

Seperti ibu, kelak begitu aku ingin memperlakukan anakku.

Yogyakarta, 07 Desember 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumasuki Kisah Baru 5 bulan di kota Baru

                Sejenak, waktu akhirnya menggiringku untuk mengingat kembali blog ini, haha yaya aku lama tak menyentuhnya dengan tulisan-tulisan mungil ini. Entahlah aku yang sibuk atau seolah menyibukkan diri saja ? Tugas kuliah itu banyak banget ditambah lagi kegiatan UKM yang aku ikuti. Tapi yah inilah revolusi waktu yang tetap harus aku jalani. Rasanya baru kemarin aku menulis cerita tentang mimpiku di UGM sekarang udah lagi UAS , sungguh waktu mengajak kita berjalan dengan cepat.                 Mengikuti arus kisah,,,sekarang sudah januari 2015 menandakan   4 deret angka “2014” telah tersubsitusi menjadi “2015” dan masa baru kembali dimulai. Banyak hal yang sudah aku lakuin di Jogjakarta selama 5 bulan ini, jika ini sebuah perjuangan aku tahu ini tak akan sia-sia. Sekarang aku ceritain 5 bulan yang berlalu secara cepat itu Aku aktif di 2 UKM yaitu “Balairung”, ukm untuk para pemuda berjiwa jurnalis. UKM yang menggelarkan pena-penanya untuk menelisik fakta disetiap peris

Jogja, Wulan Pulang !

Episode 1.... Jogjakarta adalah kota yang entah darimana asalnya selalu bisa menjadikan setiap yang datang menemuinya jatuh cinta. Menemui jogja dan menjalani banyak kisah disana adalah sebuah takdir Tuhan yang paling istimewa. Begitu pula bagi Wulan dan Damar. Dua orang anak manusia yang kemudian bertemu di Jogja dan kemudian diputuskan oleh Tuhan untuk menjalani banyak cerita. Wulan Waktuku dengan Jogja sudah selesai, tempat ini sudah sangat baik mau menerimaku selama 4 tahun lebih, membangun banyak cerita. Mempertemukanku dengan banyak manusia. Jogja sungguh adalah kota yang tidak bisa lagi aku rangkai dengan kata, dia adalah rasa-rasa yang pada setiap sudutnya aku titipkan cerita. “Damar, aku akan pulang tanggal 10 Desember nanti,” akhirnya aku berani memberitahu Damar tentang rencana kepulanganku ke Sumatera. “Oh iya? Cepet banget? Katanya kamu mau tinggal disini?” hanya itu respon yang Damar katakan. “Yah, ayah menyuruhku pulang. Aku sudah selesai dengan kota ini. G