Mendidik seperti ibu mendidik
Aku suka bingung untuk melanjutkan setiap “part” kenangan
masa kecilku dari mana. Inginnya sih urut, tapi menulis sesuatu yang sengaja
dipikirkan dengan sistematis malah membuatku tidak menghasilkan apa-apa, selain
hanya keinginan agar ceritanya urut dan tertata. Makanya, aku memilih untuk
menuliskan apapun yang tiba-tiba teringat dikepalaku. Tentang masa kecilku.
Kali ini tentang ibu. Tentang bapak juga banyak kok. Tapi ibuk
dulu ya pak. Hehe.
Mendidik seperti ibu mendidik. Banyak hal yang kelak jika
aku sudah menjadi ibu, aku ingin mentreatment anakku seperti ibu
memperlakukanku. Sederhana tapi begitu
berkesan bagiku hingga saat ini.
Dulu ketika aku masih sekolah dari SD, SMP sampai SMA,
setiap kali mau Ujian Tengah Semester, Ujian Akhir Semester dan Ujian Nasional,
ibu adalah orang yang juga akan menyiapkan banyak hal, mungkin maksudku banyak
keperluan. Ketika jadwal ujian keluar, pulang sekolah aku akan bilang pada ibu “Adek
ujian 4 hari buk”, “Adek ujian seminggu buk”, “Adek ujian sampek dua minggu
buk, satu satu pelajarannya”. Maka ibu akan memulai kebiasaannya. Sehari
sebelum ujian dimulai, biasanya pada hari minggu, ibu akan meminta uang pada
bapak untuk membelikan daging sapi untukku, susu coklat, dan beberapa cemilan
untuk menemani aku belajar.
Dulu aku tergolong anak yang rajin. Jam 4 aku sudah bangun,
selesai sholat subuh aku akan mengambil buku dan membaca kembali materi ujian
hari itu. Pun, ibu akan bangun lebih pagi untuk membangunkanku. Dia menyeduh
susu coklat untukku, ya karena waktu itu aku tidak suka susu putih, tidak enak.
Ibu berjalan dari arah dapur membawa segelas susu coklat, meletakkan di depan
mejaku dan bilang “Ni susunya”, aku akan jawab dengan nada manja “Makasih
ibuuuuuuuk” lalu melanjutkan belajar menunggu susu menjadi hangat. Beberapa
saat kemudian, ibu akan menengok dari pintu dapur “Dek, daging sapinya pengen
dimasak apa?” kadang aku jawab rawon, semur kecap, dan aku lupa namanya, tapi
semacam dendeng dengan bumbu kuning yang sangat enak. Belum habis susu
digelasku, ibu datang lagi membawa cemilan. Cemilan yang di hari sebelumnya
juga ibu tanya padaku, adek mau pisang goreng, singkong atau roti bakar? Tentu
aku akan jawab semauku.
Tidak, tidak , aku bukan dimanja tapi itu cara ibu memberi
semangat padaku. Menghargai usahaku untuk belajar dan itu sungguh sangat
berpengaruh bagiku. Ketika anak lain benci ujian, aku sangat senang ujian
datang. Ya, karena treatment yang ibu berikan.
Mendekati munculnya matahari aku akan mandi dan bersiap kesekolah, tentu
kemudian sarapan dengan menu yang sudah ibu sediakan tadi. Sebelum berangkat
sekolah, apalagi waktu SD, ibu akan memastikan semua peralatan tulisku sudah
terbawa. Tidak lupa juga pertanyaan “Kartu ujian sudah dibawa?”. Aku akan
menganggung kemudian mencium tangannya, lalu ibu akan mencium pipi kanan dan
kiriku kemudian bilang “Hati-hati ngerjakannya, yang teliti, nggak usah
terburu-buru”. Aku menjawab “Iya” sambil naik ke atas motor, dimana bapak sudah
siap mengantarku ke sekolah. Motor mulai menyala bapak akan bilang “Berangkat
ya buk” sedangkan aku akan melambaikan tangan, lalu berbarengan dengan bapak
mengucap salam “Assalamualaikum”. “Waalaikumsalam” ibu menjawab.
Pulang sekolah setelah mencium tangan ibu, beliau akan
bertanya “Gimana ujiannya dek?” maka aku akan mulai bercerita, soal apa yang
tidak bisa aku kerjakan dan soal apa bisa aku kerjakan seraya bilang “Tadi yang
dipelajari keluar semua”. Kadang aku juga mengeluh karena lupa jawabannya dan baru
ingat setelah lembar ujian dikumpulkan. Ibu akan bilang “Nggak papa, besok
lebih teliti lagi. Besok pelajaran apa?”
Selalu begitu, sampai akhirnya aku kuliah dan tidak ada susu
coklat maupun cemilan yang disiapkan ibu. Tapi, ibu akan selalu membangunkan
aku pagi hari dan menelfon malam hari untuk menanyakan bagaimana ujianku hari
ini.
Keluarga kami bukan keluarga kaya, keluarga kami keluarga
yang sederhana. Tapi sungguh aku bersyukur terlahir menjadi bagian dari mereka,
di keluarga ini, aku menemukan cinta. Cinta yang begitu megah, begitu mewah
tapi tidak mahal harganya. Hanya didapat dari hal-hal sederhana yang itu sungguh
berharga.
Ohiya, kalau bapak nanti aku ceritakan di part lain aja.
Intinya dibagian ini, aku tau bapak akan mendengarkan ceritaku dari apa yang
ibu ceritakan kepadanya.
Seperti ibu, kelak begitu aku ingin memperlakukan anakku.
Yogyakarta, 07 Desember 2019
Komentar
Posting Komentar