Langsung ke konten utama

Definisi prestasi, perlukah di re-definisi ?


Berbicara tentang prestasi, aku belum bisa mendefinisikan prestasi itu seperti apa ? Apakah tentang nilai yang bagus, IPK 4, menjadi juara dalam setiap perlombaan atau apa ?  Aku benar-benar belum paham. Aku pernah menarik kesimpulan tentang definisi prestasi itu sendiri, dulu bagiku prestasi adalah tentang kebanggaan, entah itu dari hal yang sangat kecil sekalipun. Pernah ikut OSN meski tidak pernah menang, bagiku dulu itu prestasi masuk 10 besar paralel bagiku dulu itu prestasi, menjadi juara dalam lomba menulis bagiku dulu prestasi, dan diterima di universitas keren bagiku dulu itu prestasi. Jadi, bagiku prestasi adalah segala sesuatu yang membuat kita bangga.
Setelah itu, aku kembali melakukan re-definisi mengenai prestasi. Jenjang perkuliahan yang membuat aku seperti orang asing diantara jutaan orang-orang pintar, ya aku bukan siapa-siapa lagi.  Aku pun kembali mencari cara lain mendefinisikan prestasi itu sendiri, aku mengubah definisi prestasi dari kebanggaan menjadi kebermanfaatan. Pernah aku berfikir, bahwa prestasi itu adalah mengenai suatu pengabdian bagi masyarakat, memberi manfaat dan membuat orang lain bahagia setidaknya dengan membuat mereka tersenyum dengan sedikit bakti kita.
Entahlah, aku ingin mematenkan definisi kedua tersebut. Tapi ? Tapi aku berfikir apakah benar defisini prestasi seperti itu ? Atau, itu hanya bentuk pengalihan  fokus saja, sekedar untuk menguatkan diri sendiri karena  sadar tidak ada kebanggaan lagi yang bisa dipersembahkan ? Entahlah, mungkin harus ada re-definisi selajutnya.
Menarik pendapat dari beberapa orang, mereka meganggap prestasi itu tentang sesuatu hebat mengenai “akademik” dan “skill”.  Menciptakan robot, menang lomba paper, dapat beasiswa ke luar negeri dan lain-lain. Oh benarkah begitu ? Jika benar begitu, berarti aku benar-benar bukan  salah satu orang berprestasi. Menyedihkan !
Aku sedikit berontak jika banyak orang beranggapan seperti itu, bukankah setiap orang puya prestasi. Pasti. Jika prestasi hanya sekedar itu saja bagaimana dengan mereka yang tidak sekolah tapi mampu menjadi penggerak perubahan, menjadi penggasan inovasi baru tanpa nila-nilai pada  kertas berisi angka-angka mutlak sebagai simbol kecerdasan ? Menurutku sedikit tidak adil. Jika benar definisi prestasi hanya seperti itu artinya yang mampu berprestasi hanya mereka dengan gelar-gelar yang disandingkan dengan nama mereka.
Awalnya memang aku tidak setuju, itu definisi konyol bagiku. Tapi, dalam perjalanan selanjutnya pemikiranku seolah terprogram untuk menjadikan diriku berprestasi dengan pengertian itu. Aku iri ketika melihat temanku pergi keluar negeri mewakili kampusnya padahal  kampusnya bukanlah kampus populer se-populer kampusku. Tapi ya, seperti itulah adanya nama hebat kampusku seolah  hanya cover. Aku terkadang terdiam  malu, memikirkan  mana yang akan menjadi lebih keren mendapat  prestasi di kampus biasa atau kuliah dikampus hebat tanpa prestasi  ? Perlu diingat ini hanya untuk definisi prestasi menurut kebanyakan orang.
Aku ingin mengkajinya ulang, apa-apaan aku  ini ? Definisi prestasi pun masih menjadi inhibitor bagiku. Mana yang benar ?  Kenapa prestasi dipermasalahkan ? bolehkah aku sebut dia dogma belaka ? Aku tidak ingin saja banyak orang pada akhirnya menyerah dan tak percaya diri, menjadi pesimis karena merasa tak ada prestasi dalam dirinya.
Aku mungkin juga hanya berbicara, karena sejujurnya terlepas dari definisiku tentang prestasi , aku juga ingin berprestasi. Sekedar dikenal dosen, menang debat, menang paper, IPK 4, dll tapi bukankah itu sulit ? Aku masih meragukannya. Hahaha prestasi, prestasi lucu sekali kamu. Tunggu bukan kamu.  Entahlah aku atau kamu yang lucu disini ?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumasuki Kisah Baru 5 bulan di kota Baru

                Sejenak, waktu akhirnya menggiringku untuk mengingat kembali blog ini, haha yaya aku lama tak menyentuhnya dengan tulisan-tulisan mungil ini. Entahlah aku yang sibuk atau seolah menyibukkan diri saja ? Tugas kuliah itu banyak banget ditambah lagi kegiatan UKM yang aku ikuti. Tapi yah inilah revolusi waktu yang tetap harus aku jalani. Rasanya baru kemarin aku menulis cerita tentang mimpiku di UGM sekarang udah lagi UAS , sungguh waktu mengajak kita berjalan dengan cepat.                 Mengikuti arus kisah,,,sekarang sudah januari 2015 menandakan   4 deret angka “2014” telah tersubsitusi menjadi “2015” dan masa baru kembali dimulai. Banyak hal yang sudah aku lakuin di Jogjakarta selama 5 bulan ini, jika ini sebuah perjuangan aku tahu ini tak akan sia-sia. Sekarang aku ceritain 5 bulan yang berlalu secara cepat itu Aku aktif di 2 UKM yaitu “Balairung”, ukm untuk para pemuda berjiwa jurnalis. UKM yang menggelarkan pena-penanya untuk menelisik fakta disetiap peris

Kenangan masa kecil yang baik (Part 2)

Mendidik seperti ibu mendidik Aku suka bingung untuk melanjutkan setiap “part” kenangan masa kecilku dari mana. Inginnya sih urut, tapi menulis sesuatu yang sengaja dipikirkan dengan sistematis malah membuatku tidak menghasilkan apa-apa, selain hanya keinginan agar ceritanya urut dan tertata. Makanya, aku memilih untuk menuliskan apapun yang tiba-tiba teringat dikepalaku. Tentang masa kecilku. Kali ini tentang ibu. Tentang bapak juga banyak kok. Tapi ibuk dulu ya pak. Hehe. Mendidik seperti ibu mendidik. Banyak hal yang kelak jika aku sudah menjadi ibu, aku ingin mentreatment anakku seperti ibu memperlakukanku.  Sederhana tapi begitu berkesan bagiku hingga saat ini. Dulu ketika aku masih sekolah dari SD, SMP sampai SMA, setiap kali mau Ujian Tengah Semester, Ujian Akhir Semester dan Ujian Nasional, ibu adalah orang yang juga akan menyiapkan banyak hal, mungkin maksudku banyak keperluan. Ketika jadwal ujian keluar, pulang sekolah aku akan bilang pada ibu “Adek uji

Jogja, Wulan Pulang !

Episode 1.... Jogjakarta adalah kota yang entah darimana asalnya selalu bisa menjadikan setiap yang datang menemuinya jatuh cinta. Menemui jogja dan menjalani banyak kisah disana adalah sebuah takdir Tuhan yang paling istimewa. Begitu pula bagi Wulan dan Damar. Dua orang anak manusia yang kemudian bertemu di Jogja dan kemudian diputuskan oleh Tuhan untuk menjalani banyak cerita. Wulan Waktuku dengan Jogja sudah selesai, tempat ini sudah sangat baik mau menerimaku selama 4 tahun lebih, membangun banyak cerita. Mempertemukanku dengan banyak manusia. Jogja sungguh adalah kota yang tidak bisa lagi aku rangkai dengan kata, dia adalah rasa-rasa yang pada setiap sudutnya aku titipkan cerita. “Damar, aku akan pulang tanggal 10 Desember nanti,” akhirnya aku berani memberitahu Damar tentang rencana kepulanganku ke Sumatera. “Oh iya? Cepet banget? Katanya kamu mau tinggal disini?” hanya itu respon yang Damar katakan. “Yah, ayah menyuruhku pulang. Aku sudah selesai dengan kota ini. G