Aku berpikir tentang apa yang
terpikir oleh dua orang muda dengan secangkir kopi hitam di atas meja, atau
bisakah kusebut dua cangkir saja ? Dua cangkir dari jarak dengan dimensi ruang
yang berbeda. Kenapa sekarang bahasan kopi menjadi sangat asyik bagiku ? Padahal
dulu jangankan memikirkan tentang filosofinya, meminumnya saja aku enggan. Ya, sekarang pun sebenarnya aku juga masih
abal sebagai penikmatnya, tapi entahlah kenapa kemudian dia menjelma sebagai
inspirasi yang tak berhenti.
Kembali pada dua cangkir kopi itu tadi,
milik dua orang muda yang tak saling bicara. Lah bagaimana bisa ? Bukankah kopi
identik dengan percakapan yang tak ada ujungnya ? Kenapa dua orang muda itu
diam ? Oh, ternyata dua cangkir kopi itu tidak berada di satu meja yang sama.
Kasian sekali mereka, aku akan mencoba mendekat, menanyakan pada mereka apa
yang mereka pikirkan tentang secangkir, maaf maksudku dua cangkir di meja yang
berjarak itu.
“Hai, kenapa tidak meletakkan
kopi di meja yang sama ?” Tanyaku pada seorang muda di sebuah ruangan klasik
yang kulihat tak meminum kopinya. Dia menjawab “Bagaimana bisa ? kita memesan
kopi di dua tempat yang berbeda !”. Iya juga ya, pikirku. “Lalu, tidakkah
kalian berpikir untuk memesan kopi di tempat yang sama ?” aku bertanya lagi,
kali ini memang sedikit kepo, begitu istilah kerennya. Seorang muda itu diam
sejenak, menarik nafas yang sedikit panjang kemudian menjawab “Entahlah,
diantara kami tidak ada yang pernah menawarkan agar dua cangkir ini berada di
meja yang sama” dia menunjuk secangkir yang masih dia anggap dua cangkir. Malang sekali, “Kenapa kau tidak menawarkan
duluan dan kenapa pula tak kau minum secangkir milikmu ini ?” aku menimpalinya
lagi, aku benar-benar tidak mengerti dengan dua orang muda ini. “Aku tidak suka
memulai, aku juga tidak tau apakah dia akan suka jika aku ajak meminum kopi di tempat
yang aku tawarkan” Lalu dia meraih gagang cangkir kopi miliknya, menyeruput
sedikit kemudian meletakkannya kembali diatas meja “Barusan aku sudah
meminumnya, maka pertanyaan kedua tidak perlu aku jawab”. Aku rasa dia sudah
bosan dengan pertanyaanku, atau dia tidak suka padaku, seorang
asing yang ingin tau ini itu, Baiklah, biar aku tinggalkan saja dia dengan
secangkir miliknya.
Aku sudah duduk di depan
secangkir kopi milik seorang muda yang lain, ruangannya memang cukup berbeda,
lebih terang dengan iringan musik yang kekinian. “Hai, kau kenal seorang muda disana ?” aku pertanyaanku. “Iya, aku mengenalnya” jawabnya singkat, seraya
menyeruput kopinya. Dia terlihat lebih menikmati jarak itu. “Kau tidak ingin
dua cangkir kopi ini benar-benar di meja yang sama ?” aku rasa pertanyaan
untuknya memang harus sedikit berbeda. “Untuk apa ? aku rasa sama saja, semeja
atau tidak ,dua cangkir kopi ini sama-sama kita nikmati ” dia kembali meminum
kopinya, kulihat kopinya tinggal setengah. Entah akan dihabiskan atau akan dia
sisakan ?aku tidak tau, yang aku pikirkan adalah aku harus pergi menemui seorang disana yang kopinya hampir dingin.
“Kau belum juga menikmati kopimu
? nanti dingin, rasanya akan berbeda !” aku ingin dia tau bahwa seorang muda
disana merasa bahwa dia menikmati kopinya dan dia harus benar-benar
menikmatinya. “Aku tidak suka menikmati kopi tanpa percakapan, rasa pahitnya
terasa. Aku tidak suka !” dia melihat secangkir miliknya yang hampir belum berkurang.
“Kau mau menikmatinya denganku, mari kita memulai percakapan dan kau bisa
menikmati kopimu”. Aku lihat dia tersenyum, dia mengangguk dan kami pun larut
dengan percakapan panjang. Kopinya akhirnya habis sebelum panasnya benar-benar
hilang. Aku selesai, dia menikmati
kopinya seperti prasangka seorang muda yang menikmati kopi di meja yang lain.
Aku harus mengabarkan pada seorang muda di ruang terang itu bahwa kopi orang
yang dia kenal sudah habis, dia benar-benar menikmati kopinya..
Aku berpindah, tapi aku tidak
menemui seorang muda itu lagi. Meja itu hanya tersisa setengah cangkir kopi
yang volumenya masih sama seperti saat terakhir aku lihat sebelum pergi. Ah aku
salah sangka, seharusnya aku tidak meninggalkannya. Seharusnya aku membuat
mereka saling bicara, melalui aku, bukan malah menganggap salah satu adalah
korban dan harus aku selamatkan. Mereka hanya prasangka-prasangka yang tidak
dibuktikan, diyakini tapi masih diragukan. Hingga akhirnya ada pahit yang
disisakan dan mereka tetap berakhir dengan prasangka yang belum selesai. Aku
harap besok aku bisa menemui mereka lagi disini, membuat dua cangkir di meja
berjarak ini sama-sama habis. Jika besok tidak bisa aku temui lagi, baiklah
kali ini aku salah. Mereka berakhir tanpa selesai, dan setengah kopi di cangkir
ini adalah sisa perasaan serta prasangka dari emosi terakhir yang tertinggal.
Yogyakarta, 09 Maret 2018
Anak Bungsu
Komentar
Posting Komentar