Malam ketika jam sudah hampir menunjuk angka 9,
beberapa mahasiswa dari 5 jurusan berbeda memilih untuk mengobrol santai dengan
pesanan sesuai selera, ada yang memesan secangkir kopi susu yang tak diaduk
sebelum diminum, segelas kopi coklat panas, segelas es teh, segelas susu panas
serta segelas wedang jahe yang menghangatkan. Semua pesanannya berbeda tapi
dalam hal tujuan mereka sama, ya sekedar ngobrol santai mengenai banyak
hal. Benar ternyata, pertemuan-pertemuan
adalah percakapan panjang yang yang enggan untuk diselesaikan, yah andai Tuhan
menciptakan waktu lebih dari 24 jam.
Aku menguping percakapan mereka, percakapan
yang diawali dengan pertanyaan “Kenapa dalam suatu kelompok besar, akhirnya
manusia memilih berteman dengan sebagian kecil saja, membentuk kelompok lain
dan kemudian sedikit mengabaikan yang lain ?”. Permulaan percakapan yang cukup
tidak basa-basi, enggan untuk memulai dengan pertanyaan apa definisi sebuah
pertemanan ? Ya wajar saja sih, ini kan percakapan santai bukan wawancara
ekslusive untuk membuat artikel di koran . Jawaban-jawaban kemudian bermunculan, “Ya
karena rasa nyaman”, “Karena kesamaan” “karena komunikasi, intensitas, dan
respon dalam hal menghargai”, begitu katanya. Hmm, aku setuju ! Tidak ada
jawaban yang salah, karena ya memang begitu, kebanyakan kasus dalam hidup,
berteman adalah tentang bagaimana menciptakan rasa nyaman, dan rasa nyaman
terbentuk karena merasa memiliki kesamaan, kesamaan yang dimaksud disini
mungkin lebih kepada definisi yang luas mengenai pola fikir, sikap, tujuan dan
sebagainya. Kesamaan ini kemudian membangun kita untuk nyambung dalam berkomunikasi hingga memunculkan respon serta
sikap-sikap menghargai. Jika pada sebagian lain dianggap diabaikan, belum tentu pengabaian itu
dirasakan oleh mereka, bisa saja sebagian lain tersebut juga membentuk kelompok
lain yang sama dengan diri mereka.
Muncul sebuah pertanyaan baru dari
seorang mahasiswa yang sama, mahasiswa yang membuka percakapan tadi, begini
katanya “Berapa teman kalian ? Bagaimana kalian mengklasifikasikan istilah
teman tersebut ?” Aku tidak mengerti sebenarnya mengapa mereka memilih
percakapan tentang pertemanan ? tapi ya aku hanya pendengar, aku dengarkan saja
apa yang kemudian dijawab oleh masing-masing mereka. Seorang mahasiswa
berkacamata menjawab “Aku punya banyak teman, emmm untuk mengklasifikasi ya
begitu hanya tentang teman yang sebatas teman, teman, teman baik, teman dekat,
ya seperti itulah” “Kalau aku tentang rasa nyaman yang aku dapatkan, jika sudah
mendapatkan itu ya dia teman yang benar-benar teman”. Aku mulai berfikir,
klasifikasi mana yang akan aku gunakan untuk kelima mahasiswa ini. Tapi aku
belum pada sebuah kesimpulan karena belum semuanya menjawab. “Kalau jumlah
temenku bisa kuhitung bahkan dengan jari”
mahasiswa yang bertanya tadi kemudian menimpali. Jawaban yang unik pikirku.
“Bagiku, teman ya mereka yang ada untuk saat ini dan masa-masa mendatang, yang
bukan sekedar kenal lalu besok hilang” ternyata dia belum selesai dengan
argumennya. Seorang mahasiswa lain menimpali “Oh kalau bagiku tidak begitu,
tetap semua yang kemudian mengenalku dan berinteraksi denganku ya mereka
temanku. Aku tidak mengklasifikasikan, cuma lebih kepada kadar dan porsi
bagaimana kita berteman. Lalu bagaimana kau bisa mengerucutkan pertemananmu
sesempit itu ?” Seraya mengaduk kopinya yang hampir dingin, mahasiswa ini
kemudian melemparkan pertanyaan. “Tidak mengerucutkan, aku hanya ya menganggap
demikian. Itu tentang penilaianku” begitu pembelaan dari mahasiswa yang
menjawab temannya dapat dihitung jari. Sementara percakapan itu terus
berlanjut, seorang mahasiswa lain aku lihat masih sibuk dengan layar laptopnya,
menggerakkan mouse-nya, sepertinya
sedang mengerjakan tugas kuliah, atau tugas akhirnya ? entahlah ? Yang aku perhatikan dia tidak
banyak terlibat di percakapan awal, sesekali ditanya oleh temannya dan menjawab
seperlunya. Aku ingin sekali bilang padanya “Sudahlah matikan dulu laptopmu,
berbincanglah dengan temanmu membahas apapun yang sedang bergulat dalam otak
mereka”. Hingga beberapa saat kemudian dia benar-benaar mematikan laptopnya dan
larut bersama keempat lainnya, terlibat dalam perbincangan yang bagiku menarik.
Percakapan kemudian terus berlanjut,
hingga melebar kemana-mana dari hal mengenai bisakah seorang perempuan dan
laki-laki berteman ? tentang adakah pengalaman masing-masing mereka mengenai
pertemanan laki-laki perempuan yang kemudian hilang karena adanya sebuah
perasaan ? tentang bagaimana cara menyikapinya, tentang bagaimana seorang
laki-laki memandang wanita berpendidikan, tentang bagaimana mereka meyakinkan
diri tentang kesiapan untuk sebuah pernikahan, yang kemudian semakin melebar
hingga sampai pada tujuan mereka setelah lulus nanti, tentang linier atau tidaknya pekerjaan yang akan mereka geluti
dengan ilmu yang mereka tempuh, tentang bagaimana takdir-takdir mereka membawa
mereka pada titik ini, sesekali ada momen masing-masing mereka berbagi resah
meminta saran dan saling membangun motivasi. Ah banyak sekali topik yang mereka
bicarakan yang tentu tak bisa aku tuliskan, sebab jika harus dituliskan , aku
rasa aku membutuhkan berlembar-lembar kertas dan itupun masih akan ada bagian
yang tertinggal. Anak muda zaman sekarang, asyik sekali perbincangan mereka.
Aku setia mendengarkan perbincangan
mereka, sama sekali tidak jenuh. Menarik, asyik, seru dan ya aku rasa sangat
bermanfaat untuk masing-masing mereka. Ah, ilmu memang tak hanya bisa diperoleh
di dalam kelas dengan duduk rapi bersama sebuah pulpen dan buku untuk mencatat
materi. Percakapan sederhana dari sebuah pertemuan juga banyak memberi
pengetahuan baru, hanya tergantung bagaimana kita mau.
Gelas-gelas minum pesanan mereka
terlihat mulai habis. Gelas teh, wedang, coklat, dan susu sudah tidak tersisa,
kecuali secangkir kopi yang menyisakan ampas terakhir yang enggan diminum pemesannya.
Mereka masih larut dalam percakapan,
tapi sayang 24 jam sehari yang diciptakan Tuhan sudah hampir habis, tempat
ngobrol mereka sudah akan ditutup pemiliknya. Percakapan sepertinya harus
diakhiri tapi aku lihat sebenarnya mereka masih enggan untuk selesai. Seorang
mahasiswa berdiri dari duduknya, melihat jam dan memberi isyarat bahwa setengah
jam lagi 24 jam itu akan memulai perhitungannya dari awal kembali. Mereka semua
kemudian beranjak mengakhiri percakapan dan kembali pulang untuk tidur dan menemui
besok untuk hari selanjutnya. Sebelum benar-benar pulang, mahasiswa yang paling
sering memantik percakapan bilang “Ah andai percakapan tadi direkam, bagus
sekali sepertinya”. “Ah kau ini, memang kadang momen itu hanya untuk dinikmati
saja bukan diabadikan, ya seperti obrolan kita tadi” ujar seorang mahasiswa
yang diawal percakapan sibuk dengan laptopnya. Pertemuan mereka selesai malam
ini, semoga mereka selalu meluangkan waktu untuk sering melakukan hal seperti
itu.
Penutup dariku, seorang asing yang
diam-diam mendengar percakapan mereka. Fokusku adalah pada topik percakapan awal mereka tentang sebuah
pertemanan. Jika mereka tidak mengawali percakapan itu dengan definisi teman,
bolehkah aku mengakihirinya dengan hal itu ? Semoga mereka mengijinkannya.
Bagiku definisi teman itu adalah tentang masing-masing kelompok yang menganggap
dirinya sebagai sekelompok teman. Bagiku, mereka sendiri adalah definisi teman,
insan-insan yang menyediakan raga untuk sekedar melakukan perjumpaan,
berbincang, berbagi keresahan, menjalin komunikasi, dan menyediakan waktu
barang sebentar meninggalkan hal selain itu yang entah lebih penting atau
tidak. Teman adalah mereka-mereka yang memberi dukungan, mau mendengarkan, dan
mau menerima perbedaan, aku lihat mereka memilikinya. Semoga itu terjaga meski
waktu kemudian direnggut Tuhan hingga pertemuan seperti tadi tidak lagi bisa
dilakukan.
Aku ingin lagi bertemu mereka dilain
kesempatan, ditempat lain hingga mereka mengingat momen sederhana itu dan
tertawa sambil mengingatnya. Semoga Tuhan mengijinkanku menemui mereka lagi
setelah ini.
Yogyakarta,
13 Maret 2018
02:06
Anak
Bungsu
Komentar
Posting Komentar