Langsung ke konten utama

Jogjakarta #Katamereka #Part1


Angkringan Lik Man, begitu nama angkringan yang terletak di sebelah barat stasiun tugu Jogjakarta ini. Tempat yang kemudian dipilih untuk bercerita tentang Jogja itu sendiri. Deret-deret angkringan dan lesehan sepanjang jalan itu masih renggang, masih sepi pengunjung, mungkin karena malam juga belum begitu larut. Lesehan dengan tikar tergelar di trotoar jalan dengan penerangan sebatas lampu jalan, rasanya cukuplah untuk menjadi tempat yang nyaman untuk berbincang. Masih ada yang kurang rasanya, mungkin suguhan makanan atau sedikit cemilan serta sebuah minuman akan membuatnya semakin nyaman. Baiklah, tambahkan segelas teh manis, segelas es tape, beberapa bungkus nasi kucing, beberapa tusuk sate-sate angkringan, dan beberapa gorengan. Rasanya sudah pas, percakapan sepertinya sudah dapat dimulai.

Jogjakarta #Katamereka #Part1
Jogjakarta bagi seorang mantan mahasiswa yang akan segera pergi meninggalkan Jogja, apa katanya ?
“Jogjakarta sudah sangat banyak membuat kenangan-kenangan yang dulu bahkan tidak sempat aku pikirkan. Melihat Jogja sekarang sebagai seseorang yang sudah lulus dan telah  menanggalkan status mahasiswa, aku tidak menyangka bisa bertahan di Jogja selama hampir 4 tahun. Padahal, dulu aku tidak pernah ingin dan bahkan tidak terpikir sedikitpun bahwa aku akan tinggal di Jogja. Tapi ditakdirkan Tuhan untuk tinggal disini bukan suatu hal  yang harus disesali”  
“Jika ada kata yang lebih mewakilkan dan meyakinkan dari kata “Akan Rindu”, mungkin itu yang akan aku ucapkan. Sebenarnya aku bahkan sudah merindukan Jogja sebelum aku meninggalkan Jogja. Rindu disini bukan tentang memisahkan raga ini dengan Jogja, tapi lebih kepada rindu dengan statusku sebagai mahasiswa, menikmati Jogja sebagai kesibukan-kesibukan organisasi, menikmati Jogja dengan kumpul bersama teman, menikmati Jogja sebagai tugas-tugas, dan hal-hal seperti itu. Ketika aku bilang rindu bukan berarti aku ingin kembali menjadi mahasiswa, tidak, bukan seperti itu tetapi lebih kepada perasaanku tentang ada sesuatu yang hilang dan sesuatu itu tidak bisa aku deskripsikan, sesuatu yang berbeda. Ya, semua akan must go on tapi ada perasaan bahwa aku tidak ingin meninggalkan itu hanya sebatas sebagai kenangan. Segala hal tentang aku sebagai mahasiswa di Jogja adalah proses-proses yang membentuk aku sekarang, menjadikan aku pribadi yang sekarang, salah satunya menjadikan aku alumni di salah satu universitas di Jogja ya meskipun belum wisuda dan masih menjadi pengangguran”
“Permisi ya kak, maaf menganggu numpang nyanyi boleh ? atau ada request lagu ?” penjelasan mengenai Jogja terputus. Musisi jalanan menghentikan perbincangan tentang Jogja sebentar. Sebuah lagu Naff berjudul terendap laraku dinyanyikan dengan iringan gitar dan sebuah kajon. “Lambat laun sang waktu berganti, endapkan laraku disini, coba tuk lupakan bayangan dirimu yang selalu saja memaksaku tuk merindumu”, salah satu lirik yang menjadi bagian dari lagu ini seolah mencoba menyelaraskan diri dengan obrolan tentang rindu-rindu yang akan mengendap di Jogja.
“Hal-hal seperti ini yang menjadi bumbu-bumbu manisnya kota Jogja. Musisi jalanan, lampu kuning jalan, musik patrol, angkringan, suasana dan orang-orangnya”
“Permisi  kak”, salah satu personil musisi jalanan itu menyodorkan topinya. Sebuah uang kertas dimasukkan ke dalamnya sebagai sebuah royalti atas suara yang telah diperdengarkannya.
“Saat jadi mahasiswa aku pernah berada di posisi aku ingin membuat rumah di Jogja, tapi setelah lulus aku mulai memikirkan lagi, apakah memang aku harus tinggal di Jogja atau aku di Jogja memang hanya untuk menjadi seorang mahasiswa ? Aku tidak pernah menanyakan pada Tuhan kenapa aku di Jogja padahal seperti yang aku katakan aku sama sekali tidak pernah memikirkan Jogja. Sebenarnya yang kemudian terpikirkan adalah kenapa aku bertahan disini ? Kenapa aku tidak memilih untuk pindah ? Jawabannya adalah karena aku menemukan sebuah ritme yang aku inginkan di kota ini. Aku bertemu teman-teman yang sejak aku ada di kota ini sampai aku akan meninggalkan kota ini, mereka  masih ada dan selalu terlibat menjadi semangat-semangatku untuk bertahan. Jogjakarta sudah menawarkan keramahan sejak pertama pesawat dari Sumatera itu mendaratkanku di Jawa, bahkan aku menemukan keramahan yang lebih besar dari ekpektasiku tentang Jogja”
“Jika ditanya apa yang sudah Jogja berikan ?”  sejenak, tidak ada kelanjutan dari yang dikatakan.
“Banyak dan terlalu banyak. Aku tidak bisa menyebutkan satu-satu tentang bagaimana Jogja sangat baik sudah memberikan banyak hal padaku. Mungkin aku akan menceritakan satu hal yang sudah Jogja berikan padaku terutama yang kemudian mengubah kepribadianku yang aku rasa menjadi lebih baik. Selama tinggal di Jogja, Jogja tidak henti mencekokiku dengan sikap menghormati, menghargai dan toleransi. Sesuatu yang akhirnya menjadi kebiasaan dan membuatku selalu melakukan itu. Aku memiliki teman-teman yang beragam, dengan pemahaman mengenai sopan santun Jogja dan cara-cara yang Jogja lakukan, kami bisa saling menghargai dan bahkan berteman sampai kini. Ya karena itu, karena cara Jogja yang mampu menyatukan perbedaan kami. Mengenai hal lain, di daerahku aku tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia yang sopan kepada orang yang lebih tua, bahkan mengucapkan permisi atau menyapa orang yang lewat di depan rumah saja tidak, tapi cara-cara Jogja itu kemudian mampu membuatku mulai melakukan hal berbeda, bukan karena sesuatu yang disengaja, tapi itu yang sudah menjadi kebiasaanku karena aku rasa Jogja memberikannya dengan segala keikhlasannya”
Suara musisi jalanan masih asyik terdengar, ganti tempat ganti lagu. Malam kota Jogja semakin syahdu ditambah angin-angin malam yang mulai menyapa wajah para penikmat Jogja dengan sopan. Sebuah nafas panjang ditarik dalam-dalam.
 “Jogja juga mengajariku tentang pelajaran hidup” kemudian diam sebentar, diseruputnya sebuah es teh yang dipesan sebagai jamuan.
“Aku masih ingat bagaimana aku bertemu seorang ibu-ibu pemungut sampah yang aku ajak mengobrol, kita berkenalan. Ibu itu bukan asli Jogja tapi dia bilang bahwa nilai-nilai yang Jogja berikan selalu bernilai kebaikan. Dia memberiku nasehat-nasehat, lebih penting rasanya dari sekedar materi kuliah yang disampaikan dosen dari buku-buku atau jurnal yang bisa aku baca ulang. Nasehat-nasehat tentang pelajaran hidup, tentang bagaimana beliau menyuruhku pada kebaikan-kebaikan seolah sedang menasehati seorang anak perempuannya agar tidak nakal, beliau juga menceritakan tentang kisah-kisah hidupnya yang jika dimaknai lebih dalam adalah nilai-nilai yang sangat menakjubkan. Belajar memang tak selalu hanya tentang dosen dan ruangan. Setelah saat itu, setiap bertemu beliau, selalu datang sapaan-sapaan antara kami, entah aku yang kemudian menyapa duluan atau beliau duluan. Meskipun sekedar sapaan, tapi aku merasakan perasaan bahagia, entahlah tidak bisa dijelaskan. Hal seperti ini, tidak pernah bisa aku lakukan di kampung halamanku. Aku tidak tau kenapa, ada beberapa hal yang memang sulit untuk dilakukan di tempat lain. Ya begitu sudut pandangku dan dari itu aku merasa mungkin karena Jogja, ya seperti itu, sesuatu yang lagi-lagi tidak bisa aku jelaskan. Sesuatu yang sudah melibatkan perasaan yang dalam”
Malam semakin larut dan orang-orang mulai semakin ramai. Mungkin mereka seorang atau sekelompok wisatawan, bisa juga sekelompok teman yang sekedar ingin berkumpul dan berbincang, atau pula hanya orang-orang yang ingin mentertawakan kesibukan orang lain. Tentang Jogja belum selesai dan harus dilanjutkan.
“Apa Jogja pernah membuat aku kecewa ? rasanya tidak. Rasa kecewa yang aku rasakan di kota ini menurutku bukan karena Jogja. Kota ini tidak pernah membuat penikmatnya kecewa. Jika ditanya apa ada peristiwa yang membuat aku kecewa dan hal itu melibatkan Jogja ? Pernah, tapi bukan Jogja menurutku yang membuat hal itu menjadi mengecewakan tapi orang-orang asing yang kemudian mencoba menghancurkan image Jogja. Temanku pernah datang ke Jogja dan aku menjemputnya dengan taxi online ke bandara karena saat itu sudah larut malam. Sebelum dia datang ke Jogja aku selalu menceritakan tentang betapa istimewanya kota ini, tentang orang-orang yang ramah, makanan yang murah, suasana yang nyaman, dan semua hal yang aku rasakan tentang kota ini, tentang bagaimana aku mengaguminya. Tetapi, sial, driver taxi online yang aku pesan tidak menunjukkan itu sebagai kesan pertama yang baik untuk temanku. Dia ketus selama perjalanan dan satu hal yang membuatku sangat kecewa adalah saat driver tersebut ingin menurunkan kami di jalan karena sesuatu yang rasanya malas aku ceritakan. Intinya seperti itu. Perasaanku saat itu campur aduk. Kesal, malu, dan kecewa, ada semacam perasaan ingin marah karena apa yang aku katakan pada temanku kemudian seolah hanya basa-basi tanpa bukti, Jogja tidak seistimewa itu dan itu terjadi sebagai first impression temanku. Peristiwa tersebut terjadi di Jogja tapi bagiku itu bukan karena Jogja ,tapi karena orang-orang yang mungkin belum mencintai Jogja seperti aku mencintai Jogja. Bagiku Jogja tidak seperti itu”
            Malam semakin larut, pengunjung angkringan semakin ramai. Lalu-lalang kendaraan juga semakin banyak. Jogja menawarkan suasana yang lebih nyaman lagi ketika semakin malam, menjadikannya tempat untuk meletakkan lelah-lelah setelah seharian beraktivitas. Jogja menjadi tempat untuk berbincang tentang hari kemarin dan mungkin juga tentang hari-hari kemudian, bisa juga hanya sekedar untuk menunggu pagi tiba sebagai tempat mengisi waktu-waktu kosong.
            “Orang-orang mengingat Jogja dengan caranya masing-masing. Mungkin ada yang mengingat Jogja setiap kali kata Jogja di ucapkan, mengingat Jogja ketika mendengar kata Malioboro, Tugu, Istimewa ataupun itu. Tapi aku punya sebuah argumen yang mungkin terdengar aneh, aku mengingat Jogja dengan lagu-lagu Via Vallen dan NDX. Orang-orang mungkin akan tertawa tapi ya itu yang aku rasakan. Lagu-lagu mereka mengingatkan aku tentang Jogja, isinya ya kebanyakan memang tentang cinta, tapi aku memaknainya sebagai perasaanku pada Jogja dan selain itu juga karena bahasa Jawa yang digunakan mungkin ya. Begini, aku merasa bahwa segala hal yang mendekatkan aku dengan Jogja bermulanya karena bahasa. Aku orang Sumatera dan sama sekali nggak bisa bahasa Jawa sedangkan teman-temanku dan orang-orang di lingkunganku semuanya kebanyakan berbahasa Jawa. Jadi, diawal statusku sebagai mahasiswa aku susah mengerti mereka, aku tidak bisa ikut tertawa dengan mereka saat mereka membicarakan hal lucu, dan aku benar-benar tidak nyaman dengan itu. Hal itu yang kemudian membuat aku ingin belajar bahasa Jawa dengan teman-temanku sampai sekarang aku sudah selesai menjadi mahasiswa dan aku sudah bisa berbahasa Jawa. Nah, lagu-lagu Via Vallen dan lagu-lagu bahasa Jawa itu yang dijadikan bahan ajar ke aku oleh teman-temanku. Mereka memberi tahuku arti lagu-lagunya hingga kemudian aku banyak memahami bahasa mereka, masuk ke dunia mereka tanpa mereka yang harus mencoba menyesuaikan denganku berbicara dengan bahasa Indonesia. Aku suka. Bahasa itu juga yang aku rasa membuat aku menyatu dengan Jogja. Memahami bahasa Jawa ini adalah caraku untuk semakin dekat dengan Jogja”
            Belum selesai juga deskripsi tentang Jogja, sebuah pesawat lewat di langit kota Jogja yang terasa sangat dekat. Kepala, tubuh dan ekor pesawatnya masih terlihat jelas, lagi-lagi Jogja menyuguhkan sesuatu yang lain.
            “Biar aku lanjutkan, aku sama sekali tidak punya keturunan Jawa. Ayahku orang Sumatera bahkan ibunya orang China. Jadi, memahami Jawa, bisa mengatakan sesuatu dengan bahasa Jawa adalah sebuah hal baru yang unik dan berkesan buat aku, entah bagi orang lain biasa bagiku ini luar biasa. Memposisikan aku sekarang yang akan meninggalkan Jogja, membayangkan besok aku pergi ke kota lain dan tidak menggunakan bahasa Jawa lagi, ya aku merasa akan ada perasaan rugi, karena gimana ya ? Rugi karena sesuatu yang memiki banyak makna, yang didapat dengan cerita-cerita, sesuatu yang memberi kenangan tidak bisa kita gunakan dan akan dijadikan kenangan saja saat diucapkan. Entahlah”
            “ Tinggal atau meninggalkan Jogja ? Jawabannya mungkin meninggalkan, tapi tidak secara utuh meninggalkan, aku akan datang lagi. Kenapa tidak memilih tinggal ? karena aku merasa bahwa aku tidak akan tinggal di Jogja untuk waktu yang lama  dan aku juga belum punya alasan yang cukup besar untuk memutuskan tinggal disini. Tapi aku pernah bertanya-tanya apakah ketika aku memutuskan untuk berkunjung setelah pergi dari kota ini nanti, aku akan merasakan perasaan yang sama dengan saat ini ? perasaan tentang bagaimana beratnya aku merindukan kota ini dan bagaimana aku sangat menyukai kota ini. Tapi jika aku tinggal, pertanyaan yang hampir sama muncul, apakah Jogja kemudian akan menjadi tetap senyaman ini dan seiistimewa ini jika aku memilih untuk menetap"
            Segerombolan orang datang merecoki pembicaraan tentang Jogja yang belum selesai. “Permisi, kosong kan ?” seraya menunjuk lesehan yang kosong. Menggunakan anggukan dan kata iya, seketika percakapan itu seraya dimata-matai oleh banyak telinga, tapi tetap saja sebelum tentang Jogja selesai, pembicaraan tentang Jogja masih terus dilanjutkan.
            “Aku menganggap setiap tempat di Jogja yang aku nikmati selalu punya history sendiri untuk aku, tapi aku selalu tidak bisa mengabadikannya karena aku takut menganggu kenikmatan dari kebersamaan itu sendiri. Ya, itu yang telat aku sadari untuk mengabadikan setiap momen. Apa aku bisa ya mengulang lagi untuk mengabadikannya ? ya setidaknya mungkin nanti setelah tua ada hal-hal yang bisa aku tunjukkan dengan orang-orangku bahwa aku punya cerita disini, di Jogja”
            Mbak-mbak, mbak ki pindah wae mbak, kasian ki seng baru-baru. Soale wes kesuwen ki mau” tetiba seorang tukarng parkir datang mengucapkan kalimat itu. Secara halus diusir dan dipermalukan di depan umum, padahal baru saja menambah pesanan segelas kopi joss yang belum habis dinikmati. Muncul perasaan kesal, tapi tetap saja harus mengalah dan memilih membayar lalu berjalan pulang.
            Percakapan tentang Jogja tak afdhol rasanya jika tidak ada penutupnya. Sepanjang perjalanan pulang, Jogja malam itu diselesaikan.
            “Satu kata untuk Jogja, syahdu. Sesederhana itu”
            Percakapan tentang Jogja bagi seorang mahasiswa yang sudah lulus pun selesai. Satu hal yang kemudian dicelotehkan agar percakapan tentang Jogja dapat dilanjutkan dilain kesempatan, baik dengan orang yang sama atau orang lain adalah pemaknaan tentang malam ini, pemaknaan yang di tutup dengan manis oleh bapak tukang parkir. Jika saja kejadian tadi terjadi tidak di Jogja, bisa saja amarah diluapkan dengan makian, rasa kesal yang ditunjukkan dan apapun yang tidak selesai dengan damai, ya tapi Jogja memberi cara-cara berbeda tentang nilai-nilai yang telah diceritakan tadi, pemaknaan yang lain tentang saling mengerti, memahami, pun begitu tentang sopan santun dan kenyamanannya.
            Begitu Jogjakarta kata mereka, seorang wanita lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang akan pergi meninggalkan Jogja untuk melanjutkan ceritanya yang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumasuki Kisah Baru 5 bulan di kota Baru

                Sejenak, waktu akhirnya menggiringku untuk mengingat kembali blog ini, haha yaya aku lama tak menyentuhnya dengan tulisan-tulisan mungil ini. Entahlah aku yang sibuk atau seolah menyibukkan diri saja ? Tugas kuliah itu banyak banget ditambah lagi kegiatan UKM yang aku ikuti. Tapi yah inilah revolusi waktu yang tetap harus aku jalani. Rasanya baru kemarin aku menulis cerita tentang mimpiku di UGM sekarang udah lagi UAS , sungguh waktu mengajak kita berjalan dengan cepat.                 Mengikuti arus kisah,,,sekarang sudah januari 2015 menandakan   4 deret angka “2014” telah tersubsitusi menjadi “2015” dan masa baru kembali dimulai. Banyak hal yang sudah aku lakuin di Jogjakarta selama 5 bulan ini, jika ini sebuah perjuangan aku tahu ini tak akan sia-sia. Sekarang aku ceritain 5 bulan yang berlalu secara cepat itu Aku aktif di 2 UKM yaitu “Balairung”, ukm untuk para pemuda berjiwa jurnalis. UKM yang menggelarkan pena-penanya untuk menelisik fakta disetiap peris

Kenangan masa kecil yang baik (Part 2)

Mendidik seperti ibu mendidik Aku suka bingung untuk melanjutkan setiap “part” kenangan masa kecilku dari mana. Inginnya sih urut, tapi menulis sesuatu yang sengaja dipikirkan dengan sistematis malah membuatku tidak menghasilkan apa-apa, selain hanya keinginan agar ceritanya urut dan tertata. Makanya, aku memilih untuk menuliskan apapun yang tiba-tiba teringat dikepalaku. Tentang masa kecilku. Kali ini tentang ibu. Tentang bapak juga banyak kok. Tapi ibuk dulu ya pak. Hehe. Mendidik seperti ibu mendidik. Banyak hal yang kelak jika aku sudah menjadi ibu, aku ingin mentreatment anakku seperti ibu memperlakukanku.  Sederhana tapi begitu berkesan bagiku hingga saat ini. Dulu ketika aku masih sekolah dari SD, SMP sampai SMA, setiap kali mau Ujian Tengah Semester, Ujian Akhir Semester dan Ujian Nasional, ibu adalah orang yang juga akan menyiapkan banyak hal, mungkin maksudku banyak keperluan. Ketika jadwal ujian keluar, pulang sekolah aku akan bilang pada ibu “Adek uji

Jogja, Wulan Pulang !

Episode 1.... Jogjakarta adalah kota yang entah darimana asalnya selalu bisa menjadikan setiap yang datang menemuinya jatuh cinta. Menemui jogja dan menjalani banyak kisah disana adalah sebuah takdir Tuhan yang paling istimewa. Begitu pula bagi Wulan dan Damar. Dua orang anak manusia yang kemudian bertemu di Jogja dan kemudian diputuskan oleh Tuhan untuk menjalani banyak cerita. Wulan Waktuku dengan Jogja sudah selesai, tempat ini sudah sangat baik mau menerimaku selama 4 tahun lebih, membangun banyak cerita. Mempertemukanku dengan banyak manusia. Jogja sungguh adalah kota yang tidak bisa lagi aku rangkai dengan kata, dia adalah rasa-rasa yang pada setiap sudutnya aku titipkan cerita. “Damar, aku akan pulang tanggal 10 Desember nanti,” akhirnya aku berani memberitahu Damar tentang rencana kepulanganku ke Sumatera. “Oh iya? Cepet banget? Katanya kamu mau tinggal disini?” hanya itu respon yang Damar katakan. “Yah, ayah menyuruhku pulang. Aku sudah selesai dengan kota ini. G